Thursday, September 13, 2012

Realistis Aja, Masa Milih Jokowi-Ahok


Judul tulisan ini berasal dari pernyataan seorang pengusaha nasional yang asli pribumi. Dia ditanya oleh sejumlah wartawan waktu acara buka puasa bersama yang kebetulan penulis hadir dalam acara tersebut. “Realistis aja deh, masa milih Jokowi,” kata pengusaha yang juga pengurus sejumlah asosiasi  dunia usaha tersebut ketika ditanya tentang Pilkada DKI Putaran Kedua nanti.


Semua wartawan yang mendengar pernyataan itu terpana mendengar jawaban sang pengusaha. Kenapa? Karena selama ini sang pengusaha dikenal cukup dekat dengan Jokowi. “Gua itu tahu siapa Jokowi, karena itu gua  nggak mau milih dia. Gua juga nggak sepenuhnya suka sama Foke, tapi dibandingkan Jokowi, Foke lebih pantas dan kemampuannya bisa lebih dipercaya,” kata pengusaha itu.




Jawaban yang mengejutkan itu menjadi bahan diskusi hangat wartawan yang hadir pada acara buka puasa bersama itu. Diskusi itu mengguak kesadaran para wartawan yang hadir bahwa kalau dilihat secara objektif, kinerja Foke memang jauh lebih baik Jokowi.

Cuma saja selama ini, kinerja Foke tertutup oleh gaya komunikasinya yang tidak mendukung, sehingga media massa enggan memberitakan kinerjanya. Apalagi, Foke dikenal kurang ramah dengan pertanyaan-pertanyaan wartawan yang sifatnya kurang konstruktif dan jawabannya suka ceplas-ceplos.

Ini sangat berbeda dengan Jokowi yang sangat pintar mendekati wartawan, meskipun jawabannya sangat umum, tapi tetap saja diberitakan sama wartawan. Ini terlihat dari pemberitaan tentang Jokowi sealam ini yang boleh dikatakan tidak didukung oleh data yang konkrit. Sebagian besar berita Jokowi sifatnya normatif.


Kalau mau objektif, sampai saat ini tidak jelas visi dan misi program yang akan dilaksanakan Jokowi untuk Jakarta. Keberhasilannya di Solo pun boleh dikatakan tidaklah terlalu mengembirakan. Termasuk dalam pembinaan Pedagang Kali Lima (PKL). Jokowi memang berhasil melakukan relokasi, tapi sebagian besar perkembangan usaha PKL Solo juga tidak mengembirakan.

Bahkan kini PKL Solo tengah resah karena pemerintah Kota Solo melalui Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) bakal memungut pajak dari pedagang kaki lima (PKL) yang biasa beroperasi di kawasan protokol, trotoar, jalur strategis, dan jalan provinsi maupun pusat.


Adapun rinciannya meliputi 10% untuk pendapatan kotor Rp 10 juta per bulan, 5% bagi PKL dengan pendapatan kotor Rp 5 juta per bulan, dan terakhir adalah  PKL dengan pendapatan kotor Rp 1 juta dengan penarikan 3%.

Perda yang mengatur pajak untuk PKL ini adalah penjabaran Perda No 4/2011 ini masih menimbulkan keganjilan di lapangan. Terbukti, aturannya masih bersifat prematur sehingga belum bisa diaplikasikan oleh masyarakat. Mengingat masyarakat belum terbiasa dengan penarikan pajak yang dilakukan sebulan sekali. Selain itu, kebiasaan masyarakat yang membayar  retribusi secara harian juga menjadi kendala diterapkannya Perda PKL.


Melihat fakta dan data-data yang ada, prestasi Jokowi selama tujuh tahun memimpin Solo memang tidak sepenuhnya mengesankan. Bahkan dalam banyak hal, Jokowi boleh dikatakan tidak mampu memberikan perubahan secara signifikan terhadap pembangunan Solo. Sehingga tidaklah berlebihan pernyataan tokoh reformasi dan mantan Ketua MPR Amien Rais yang menilai, Jokowi sebetulnya adalah walikota yang gagal.


Lihat saja pertumbuhan PDB di Solo yang begitu timpang dan hanya dinikmati oleh kalangan atas, kaum pedagang bermodal besar. Buktinya, angka kemiskinan di kota ini meningkat mencapai 24% dari 500.000 penduduknya. Bandingkan dengan Jakarta dimana hanya 3,8% penduduknya yang hidup di bawah garis kemiskinan.


Belum lagi jika dilihat angka-angka APBD Solo. Sebagian besar dari penerimaannya masih berasal dari alokasi dari APBN dan APBD Provinsi Jateng. Dari Rp 1,14 triliun APBD Solo pada 2011, hanya  Rp 189 miliar atau 16% dari PAD. Bandingkan dengan Jakarta, yang PAD-nya selama kepemimpinan Foke naik pesat rata-rata 20% per tahun, sehingga pada 2011 lalu nilainya sudah mencapai Rp 16 triliun atau 51% dari total APBD Rp 31 triliun.


Dari tingkat pendidikan dan pelayanan kesehatan Solo juga masih tertinggal. Fakta menunjukkan selama lima tahun terakhir jumlah kunjungan pemegang kartu Gakin dan SKTM yang dilayani di Puskemas maupun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) naik tajam, hampir 4 kali lipat, dari 403 ribu orang pada periode 2002-2007 menjadi 2,06 juta pada 2008-2012 (April). Pada periode yang sama, jumlah Gakin dan SKTM yang dilayani RUSD naik hampir 100% dari 280 ribu menjadi  533 ribu.


Capaian itu tentu saja tidak terlepas dari berbagai perbaikan pelayanan yang diberikan, termasuk kemudahan akses. Kini dari 44 Puskesmas di tingkat kecamatan, semuanya sudah mendapat sertifikat ISO: 9001: 2008, dan begitu juga dari 126 dari 295 Puskesmas Kelurahan.


Keberhasilan di bidang pelayanan kesehatan juga terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jakarta yang sudah mencapai 78 (tertinggi di Indonesia) dari sebelumnya 77,6. Usia harapan hidup naik dari 72,3 tahun menjadi 76,3 tahun. Angka kematian bayi turun drastis dari 28/1000 kelahiran menjadi 8,1/ 1000 kelahiran.


Jadi memang kehebatan Jokowi memimpin Solo hanya ramai di media, kenyataannya tidak seperti yang dirasakan rakyat Solo. Fabrikasi media yang begitu kuat menciptakan opini begitu terhadap sosok Jokowi, seperti tukang sihir, yang akan bisa menyulap Jakarta, hanyalah "pepesan kosong" belaka. Sama halnya, ketika Megawati menjadi presiden, dielu-elukan sebagai "ratu adil", kenyataannya tak pernah ada. 


Oleh karena itu, melihat begitu tingginya kompleksitas masalah pembangunan di Jakarta, pernyataan sang pengusaha dalam awal tulisan ini memang harus menjadi pertimbangan bagi pemilih Jakarta. “Realistis aja, masa milih Jokowi-Ahok.”

No comments:

Post a Comment